17 Jul 2014

MAKALAH CIVIL SOCIETY

MAKALAH CIVIL SOCIETY

 ( Masyarakat Madani ).

       BAB I
                                                                    PENDAHULUAN
             A.    Latar Belakang
Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2: 185).    Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125. Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.   Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.
             B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud dengan masyarakat madani?
2.      Bagaimana sejarah pemikiran tentang masyarakat madani?
3.      Apa syarat terbentuknya masyrakat madani?
4.      Seperti apa karakteristik masyarakat madani?
5.      Apa saja yang menjadi pilar penegak terciptanya masyarakat madani?
6.      Bagaimana masyarakat Indonesia bisa menjadi masyarakat yang madani?
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan  makalah ini adalah untuk menjelaskan tentang masyarakat madani mulai dengan definisi, sejarah, karakteristik,dan  syarat-syarat terbentuknya, hingga nilai – nilai masyarakat madani dapat terealisasi dalam kehidupan nyata.
D. Manfaat
Manfaat di buatnya makalah ini adalah untuk mengetahui apa makna dari masyarakat madani itu sendiri dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Selain itu, supaya pembaca lebih luas wawasannya dalam suatu ilmu, khususnya mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Masyarakat Madani ( Civil Society )
Sekitar pertengahan abad XVIII dalam tradisi Eropa pengertian dari istilah civil society di anggap sama pengertiannya dengan istilah negara (state) yakni suatu kelompok/kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Akan tetapi pada paruh abad XVIII, terminologi ini mengalami pergeseran makna. State dan civil society dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial (social information) dan perubahan-perubahan struktur politik dan Eropa sebagai pencerahan (enlightenment) dan modernisasi dalam mengahadapi persoalan duniawi. Pendapat ini diungkapkan oleh AS Hikam tahun 1999.[1]
      Selanjutnya, istilah masyarakat madani di Indonesia diperkenalkan oleh Dr. Anwar Ibrahim, ketika menyampaikan ceramah dalam acara Festival istiqlal II tahun 1995 di Jakarta, sebagai terjemahan dari civil society dalam bahasa Inggris, atau al-Mujtama’al-madani dalam bahasa Arab, adalah masyarakat yang bermoral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dan stabilitas masyarakat, dimana masyarakat memiliki daya dorong usaha dan inisiatif individual (Prasetyo, et al. 2002: 157).[2] Adapun yang memaknai civil society identik dengan “masyarakat berbudaya”(civilized society). Lawannya, adalah “ masyarakat liar”(savage society).[3]
Akan tetapi secara global bahwa yang di maksud dengan masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri di hadapan penguasa dan negara memiliki ruang publik ( publik sphere ) dalam mengemukakan pendapat adanya lembaga-lembaga mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik.[4]
      Untuk menciptakan civil society yang kuat dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan demokrasi diperlukan strategi penguatan kearah pembentukan Negara secara gradual dengan suatu masyarakat politik yang demokratif-partisipatif, reflektif, dan dewasa yang mampu menjadi penyeimbang dan control atas kecenderungan aksesif Negara.[5]
      Yang perlu kita garis bawahi dalam pengertian masyarakat madani ini adalah bahwa masyarakat tersebut mempunyai cita-cita agar rakyatnya aman, nyaman dan sejahtera, serta system yang di gunakan cukup baik karena setiap orang tidak harus menggantungkan dirinya kepada orang lain.
B.     Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani (Civil Society).
Untuk memahami masyarakat madani terlebih dahulu harus di bangun paradigma bahwa konsep masyarakat madani ini bukan merupakan suatu konsep yang final dan sudah jadi, akan tetapi merupakan sebuah wacana yang harus dipahami sebagai sebuah proses. Oleh karena itu, untuk memahaminya haruslah di analisis secara historic.[6]Menurut Manfred, Cohen dan Arato serta M. Dawam Rahardjo, wacana masyarakat madani sudah mengemuka pada masa Aristoteles. Disini ada beberapa fase tentang sejarah pemikiran masyarakat madani.
 Fase pertama,(Aristoteles, 384-322 SM) masyarakat madani di pahami sebagai system kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai pencaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia politike yang di kemukakan oleh Aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dianggap etos, yakni seperangkat nilai yang di sepakati tidak hanya dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai subtansi dasar kebijakan (viertue) dari berbagai bentuk interaksi di antara warga negara.
      Konsepsi Aristoteles ini diikuti oleh Marcus Tullius Cicero (106-143 SM) dengan istilah societies civilizes, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Tema yang di kedepankan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep Negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan , kota dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi. Konsepsi masyarakat madani yang aksentuasinya pada system kenegaraan ini dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan John Locke (1632-1704).[7] Pada masa itu civil society dipahami sebagai suatu wilayah yang mencakup masyarakat politik (politica society) dan masyarkat ekonomi (economic society).[8]
Fase kedua. Pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana civil society dengan konteks sosial dan politik di skotlandia. Berbeda pendapat dengan pendahulunya, Ferguson lebih menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial.[9] Pendapat ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi indutri munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. Dengan konsepnya ini, Ferguson berharap bahwa publik memiliki spirit untuk menghalangi munculnya kembali depotisme, karena dalam masyarakat madani itulah solidaritas sosial muncul dan diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar warga negara secara alamiah.[10]
Fase ketiga. Pada tahun 1792 Thomas Paine memaknai wacana civil society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagai antitesis negara. Bersandar pada paradigma ini, peran negara sudah saatnya dibatasi. Menurut pandangan ini, negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka. Menurutnya, civil society adalah ruang dimana warga negara dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas tanpa paksaan. Sejalan dengan pandangan ini, civil society harus lebih dominan dan sanggup mengontrol negara demi keberlangsungan kebutuhan anggotanya.[11]
Fase keempat. Wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh G. W. F. Hegel (1770-1831 M), Karl Max (1818-1883 M), dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). Pandangan mereka, civil society merupakan elemen ideologi kelas dominan. Pemahaman ini adalah reaksi atas pandangan Paine yang memisahkan civil society dari negara. Berbeda dengan pandangan Paine, Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara. Pandangan ini, menurut pakar politik Indonesia Ryaas Rasyid, erat kaitannya dengan perkembangan sosial masyarakat borjuasi eropa yang pertumbuhannya ditandai oleh perjuangan melepaskan diri dari cengkeraman dominasi negara.
Lebih lanjut Hegel menjelaskan bahwa dalam struktur sosial civil society terdapat tiga (3) entitas sosial: keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan. Selanjutnya,  masyarakat sipil merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi. Dan terakhir, negara merupakan representasi dari ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan mempunyai hak penuh untuk melakukan intervensi terhadap civil society.
Berbeda dengan Hegel, Karl Max memandang bahwa civil society dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaan civil society merupakan kendala terbesar bagi upaya pembebasan manusia dari penindasan kelas pemilik modal. Demi terciptanya proses pembebasan manusia, civil society harus dilenyapkan untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas.
Antonio Gramsci berbeda pendapat dengan Marx, yaitu ia lebih memandang pada sisi ideologis. Menurut Gramsci, civil society merupakan tempat berebutan posisi hegemoni di luar kekuatan Negara, aparat mengembangkan hegemoni untuk membentuk consensus dalam masyarakat.
Fase kelima. Wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859). Bersumber dari penglamannya mengamati budaya demokrasi Amerika, Tocqueville memandang civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara. Menurut Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat. Mengaca pada kekhasan budaya demokrasi rakyat Amerika yang bercirikan plural, mandiri, dan kedewasaan berpolitik, menurutnya warga negara di mana pun akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.[12]
Beberapa fase sudah di sebutkan, bahwa setiap fase mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam mengartikan masyarakat madani tersebut. Mulai dari ,(Aristoteles, 384-322 SM) yang memaknai masyarakat madani sebagai system kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai pencaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Dan pada akhirnya pada fase ke lima yang menganggap masyarakat madani sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara. Namun fase-fase tersebut pada intinya hampir sama dalam menafsirkan masyarakat madanai yaitu masyarakat yang mandiri yang memiliki hak untuk memaparkan pendapat-pendapatnya di muka umum untuk memenuhi kesejahteraan daerahnya.
C.    Syarat Terbentuknya Masyarakat Madani.
Banyak pendapat tentang pembahasan syarat-syarat terbentuknya masyarakat madani. Elemen dasar terbentuknya masyarakat madani menurut Rasyid dalam Barnadib (2003:63) adalah (1) masyarakat yang memiliki moral dan peradaban yang unggul, menghargai persamaan dan perbedaan (plural), keadilan, musyawarah, demokrasi; (2) masyarakat yang tidak bergantung pada pemerintah pada sector ekonomi;(3) tumbuhnya intelektualis yang memiliki komitmen independent; dan (4) bergesernya budaya paternalistic menjadi budaya yang lebih modern dan lebih independent.
Barnadib (2003:67-68) juga mengemukakan adanya empat syarat terbentuknya masyarakat madani, yakni: (1) pemahaman yang sama (one standart), artinya diperlukan pemahaman bersama di kalangan masyarakat tentang apa dan bagaimana masyarakat madani;(2) keyakinan (confidence) dan saling percaya (social trust), artinya perlu ditumbuhkan dan dikondisikan keyakinan di masyarakat, bahwa madani adalah merupakan masyarakat yang ideal;(3)  satu hati dan saling tergantung, artinya kondisi kesepakatan, satu hati dan kebersamaan dalam menentukan arah kehidupan yang dicita-citakan dan (4) kesamaan pandangan tentang tujuan dan misi.[13]
            Syarat-syarat di atas sangatlah berperan penting dalam kaitannya pembentukan masyarakat madani. Karenanya semua syarat tersebut harus ada ketika suatu kelompok menginginkan masyaraktnya dikatakan masyarakat yang madani.
D.    Karakteristik Masyarakat Madani
Penyebutan karakteristik civil society dimaksudkan untuk menjelaskan, bahwa dalam merealisir wacana civil society diperlukan prasyarat yang bersifat universal. Prasyarat ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, melainkan satu kesatuan integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi civil society. Karakteristik tersebut antara lain adalah free public sphere, demokrasi, toleransi, pluralism, keadilan,sosial (social justice) dan berkeadaban.[14]
1.      Free Public Sphere (wilayah publik yang bebas).
Yang di maksud dengan istilah “ free public sphere” adalah adanya ruang public yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang public yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Aksentuasi prasyarat ini dikemukakakan oleh Arendt dan Habermas.[15] Warga Negara dalam wacana free public sphere memiliki hak penuh dalam setiap kegiatan politik. Warga Negara berhak melakukan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta menerbitkan dan mempublikasikan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
                        Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan civil society dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free public sphere menjadi salah bagian yang harus di perhatikan. Karena dengan mengesampingkan ruang public yang bebas dalam tatana civil society, akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya.[16]
2.      Demokrasi.
Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society yang murni (genuine). Tanpa demokrasi, masyarakat sipil tidak mungkin terwujud. Secara umum demokrasi adalah suatu tatanan social politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga negara.[17]Penekanan demokrasi (demokratis) disini dapat mencakup sebagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, social, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya.[18]
3.      Toleransi.
Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat. Lebih dari sikap menghargai pandangan berbeda orang lain, toleransi, mengacu kepada pandangan Nurcholish Majid, adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang menyenangkan antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai hikmah atau manfaat dari pelaksanaan ajaran yang benar. Senada dengan Majdid, Azra menyatakan untuk menciptakan kehidupan yang bermoral, masyararakat madani menghajatkan sikap-sikap toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima beragam perbedaan pandangan politik di kalangan warga bangsa.
4.      Pluralisme.
Kemajemukan atau pluralism merupakan prasyarat lain bagi civil society. Namun, prasyarat ini harus benar-benar di tanggapi dengan tulus ikhlas dari kenyataan yang ada, karena mungkin dengan adanya perbedaan wawasan akan semakin bertambah. Kemajemukan dalam pandangan Majdid erat kaitannya dengan sikap penuh pengertian (toleran) kepada orang lain, yang nyata-nyata diperlukan dalam masyarakat yang majemuk. Secara teologis, tegas Majdid, kemajemukan social merupakan dekrit Allah untuk umat manusia.[19]
5.      Keadilan Sosial.
Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara dalam semua aspek kehidupan.
 Dengan terciptanya keadilan sosial, akan tercipta masyarakat yang sejahtera seperti nilai yang terkandung dalam pengertian masyarakat madani. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang di tetapkan oleh pemerintah (penguasa).
Sangatlah bagus beberapa karakteristik masyarakat madni di atas, mulai dari free public spere, demokrasi, toleransi, plurasime, dan keadilan social. Bahwa masyarakat tersebut selain bebas mengemukakan pendapat juga mempunyai rasa toleran terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Selain itu juga, mempunyai jiwa keadilan terhadap orang-orang di sekitar, agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
E.     Pilar Penegak Masyarakat Madani.
Yang di maksud disini adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Ada lima pilar penegak masyarakat madani:[20]
1.      Lembaga Swadaya Masyarakat, tugas dari institusi social ini adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas. Selain itu LSM juga mengadakan pelatihan-pelatihan dan sosialisasi program-program pembangunan masyarakat.
2.      Pers, institusi ini sangat penting dalam kaitannya penegakan masyarakat madani karena dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga negara.
3.      Supermasi Hukum, dalam hal ini semua warga negara harus taat terhadap peraturan hukum yang sudah ditetapkan. Hal tersebut untuk mewujudkan masyarakat yang damai dalam memperjuangkan hak dan kebebasan antar warga negara.
4.      Perguruan Tinggi, yang mana dosen dan mahasiswa merupakan bagian dari kekuatan social dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan dalam mengkritisinya tersebut tidak melanggar peraturan hokum yang ada. Disisi lain perguruan tinggi juga bisa mencari solusi-solusi dari permaslahan yang ada di masyarakat
5.      Partai Politik, partai politik merupakan wahana bagi warga Negara untuk dapat menyalurkan asipirasi politiknya dan tempat ekspresi politik warga Negara, maka partai politik ini menjadi persyaratan bagi tegaknya masyarakat madani.
Dari point satu sampai lima sungguh sangatlah berperan penting dalam menegakkan masyarakat madani itu sendiri, karena ketika masyarakat merasa tidak puas atas kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh  pemerintah, pilar-pilar penegak tersebut bisa di gunakan untuk mewakili masyarakat madani yang dapat menyuarakan semua ansipari-anspirasi dari masyarakat yang menjadi uneg-uneg atas ketidakpuasannya terhadap pemerintah.
F.     Masyarakat Madani Indonesia.
Gerakan untuk membentuk masyarakat madani berkaitan dengan proses demokratisasi yang sedang melanda dunia dewasa ini. Sudah tentu perwujudan kehidupan yang demokratis untuk setiap bangsa mempunyai ciri-ciri tertentu di samping ciri-ciri universal. Salah satu cirri dari bermasyarakat Indonesia ialah kebhinekaan dari bangsa Indonesia.
Masyarakat dan budaya Indonesia yang bhinneka.
Menurut pendapat Lombard, Indonesia berada dalam persimpangan pengaruh budaya internasional. Oleh sebab itu, di Indonesia bukanlah hanya terdapat berbagai suku, akan tetapi budaya pun bermacam-macam akibat Negara-negara lain yang pernah masuk ke Indonesia selama berabad-abad. Dengan adanya masyarakat Indonesia yang demokratis justru akan memperoleh dasar perkembangan yang sangat relevan dengan adanya kebhinekaan masyarakat Indonesia. Kehidupan demokrasi sebagai ciri utama masyarakat madani akan mendapat persemaian yang yang sempurna dalam corak kebhinekaan masyarakat dan budaya Indonesia.
Beberapa ciri pokok masyarakat madani Indonesia.
Sebenarnya ide masyarakat madani sudah dikembangkan mulai zaman Yunani klasik seperti ahli piker Cicero. Di dalam kaitan ini Hikam misalnya mengambil pemikiran Alexis Tocqueville mengenai ciri-ciri masyarakat madani. Dengan pendekatan elektrik, Hikam merumuskan empat ciri utama dari masyarakat madani yaitu:
1.      Kesukarelaan. Artinya masyarakat madani bukanlah merupakan suatu masyarakat paksaan atau karena indoktrinasi. Kenggotaan masyarakat madani adalah kenggotan pribadi yang bebas, dan mempunyai cita-cita yang di wujudkan bersama.
2.      Keswasembadaan. Setiap orang mempunyai harga diri yang tinggi, tidaklah setiap anggota masyarakat madani selalu menggantungkan kehidupannya kepada orang lain. Namun, justru membantu orang lain yang sekiranya membutuhkan pertolongan.
3.      Kemandirian tinggi terhadap Negara. Bagi mereka (anggota masyarakat madani) Negara adalah kesepakatan bersama sehingga tanggung jawab yang lahir dari kesepakatan tersebut adalah juga tuntutan dan tanggung jawab dari masing-masing anggota. Inilah Negara yang berkedaulatan rakyat.
4.      Keterkaitan pada nilai-nilai hokum yang disepakati bersama. Hal ini berarti suatu masyarakat madani adalah  suatu masyarakat yang berdasarkan hokum dan bukan Negara kekuasaan.
Di atas merupakan ciri-ciri masyarakat madani yang di ungkapkan oleh Hikam dengan pendekatan eklektik. Dan beliau melampiaskan ciri-ciri tersebut ke Negara Indonesia.[21]
Selain itu, cirri-ciri di atas juga bisa menjadi gambaran seperti apakah sebenarnya masyarakat madani itu. Dan agar orang-orang tidak salah persepsi dalam memandang masyarakat madani itu sendiri.
G.    Civil Society sebagai Indikator Keberhasilan Pembangunan.
Di indonesia pada hakikatnya proses pembangunan masih sarat oleh prakarsa pemerintah dan aparatnya baik dari segi perencanaan maupun pelaksanannya, walaupun pemerintah indonesia secara formal mengatakan bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan unsur yang paling penting dalam menciptakan keberhasilan pembangunan Indonesia.
Sebagai pembuktiannya, pmerintah mendirikan organisasi - organisasi seperti LKMD, PKK, HKTI di tingkat kecamatan dan  partai politik di tingkat nasional.
Hambatan- hambatan organisasi tersebut untuk mendukung terciptanya masyarakat madani yaitu :
a)      Organisasi tersebut bukan organisasi yang bersifat otonom. Program, dana dan pengurus terdiri dari pejabat atau mantan pejabat pemerintahan. Masyarakat memandangnya baik-aik saja, akan tetapi oknum-oknum tertentu ada yang bisa menghambat jalannya suatu proses pembangunan.
b)      Lemahnya partai politik dan pers indonesia.
c)      Akibat absennya civil society dalam proses pembangunan indonesia walaupun hampir meninggalkan era pembangunan 25 tahun tahap pertama pembagunan indonesia belum mampu menciptakan kehidupan soisal budaya politik modern bagi bangsa indonesia yang mampu menjadi dasar bagi pembangunan manusi indonesia sutuhnya.[22]
     Sehubungan dengan adanya hambatan – hambatan tersebut, mengakibatkan tatanan masyarakat yang madani secara utuh belum bias tercapai di Indonesia. Selain itu, masih ada factor lain diantaranya korupsi yang kian merakyat dan membudaya, kolusi yang menelurkan pejabat – pejabat yang kurang bertanggung jawab serta nepotisme yang menjadikan persaingan kehidupan yang tidak sehat dan penuh kecurangan. Jauh dari tolok ukur sebagai masyarakat yang madani.

BAB III
PENUTUP
      A.    Kesimpulan
            Dapat kita pahami bahwa makna dari civil society itu adalah suatu  masyarakat yang begitu partisipasi atas system demokrasi dan menjunjung tinggi hak asasi orang lain. Hal tersebut sesuatu yang baik, yang apabila suatu parlemen (pemerintahan) belum bisa, bahkan tidak bias menegakan system demokrasi dan  hak asai manusia.. Di sinilah kemudian civil society menjadi alternatif pemecahan dengan pemberdayaan dan pnguatan daya kontrol masyarakat terhadap kebijakan – kebijakan pemerintah yang pada akhirnya terwujud kekuatan masyarakat sipil yang mampu merealisasikan konsep hidup yang demokrasi dan menghargai hak asaai manusia.      Terjaminnya mutu perekonomian, lengkapnya fasilitas dunia pendidikan, terbukanya masyarakat dalam memberikan suatu kritikan terhadap pemerintah dan bertaqwa kepada Sang  Kholiq, merupakan faktor – faktor yang dapat membangun masyarakat madani di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

M.Hum, Mahrus, dkk, Pancasila dan  Kewarganegaraan, Yogyakarta: Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2005.
Rosyada, Dede, dkk, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media,2003
Soetrisno, Loekman, Menuju Masyarakat Partisipatif, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Suryadi Culla, Adi, Masyarakat Madani: pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999.
Tim Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah,Bandung: ALFABETA, 2009.
Tilaar, H. A. R. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2002.  
Ubaedillah, dkk, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media,2008.

REALITAS PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA



A. Pendahuluan

Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut HAM dalam perspktif sejarahnya dapat ditarik sampai pada permulaan kisah manusia dalam pergaulan hidup di dunia ini sejak ia sadar akan hak yang dimilikinya dan kedudukannya sebagai subyek hukum. Tetapi menurut hasil penelitian, sejarah HAM tumbuh dan berkembang sejak HAM itu diperjuangkan ketika berhadapan dengan kesewenang-wenangan kekuasaan negara.[1]   
Dari sejarah dunia kita mengetahui bahwa negara negara Eropa pernah menjajah bangsa-bangsa di benua Asia, Afrika, Australia, dan Amerika. Realitas sejarah  berupa penjajahan suatu bangsa atas bangsa lain ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM dalam bentuknya yang klasik. Tidak hanya oleh negara asing, pelanggaran HAM juga mungkin dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Misalnya pada masa Orde Baru, kebebasan berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat sangat dibatasi. Begitu juga kejahatan terhadap kemanusiaan dalam berbagai bentuknya sering terjadi, seperti penangkapan, penyiksaan dan  pembunuhan atas orang-orang yang dianggap dapat mengancam dan menggoyahkan eksistensi kekuasaannya. Rezim Orde Baru yang represif dan otoriter sudah terlalu banyak melakukan pelanggaran pelanggaran HAM, sehingga menimbulkan gejolak gejolak sosial dan politik yang pada akhirnya mengakibatkan kejatuhannya pada bulan Mei 1998 lalu.
Rezim Orde Baru berkuasa selama lebih dari tiga puluh tahun, sebuah rentang waktu yang cukup lama bagi sebuah kekuasaan untuk dapat menanamkan pengaruhnya terhadap pola pikir dan prilaku  masyarakatnya. Sungguhpun rezim tersebut telah jatuh dan berganti dengan rezim baru (Orde Reformasi) tetapi pengaruh Rezim Orde Baru itu masih tampak kuat dalam membentuk dan mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia sehingga karena begitu kuatnya pengaruh tersebut maka pemerintahan dibawah rezim Orde Reformasi itu tidak lebih sebagai kondisi transplacement-meminjam istilah Samuel P. Huntington-yaitu munculnya pemerintahan baru sebagai hasil gabungan antara sosok penguasa yang benar benar baru dengan sosok penguasa lama dari rezim otoriter sebelumnya.[2]        
Namun demikian dalam era reformasi ini telah berhasil disusun instrumen instrumen penegakan HAM. Diantaranya amandemen UUD ‘45 yang kemudian memasukkan HAM dalam bab tersendiri dengan pasal pasal yang menyebutkan HAM secara lebih detail. Selain amandemen UUD ‘45 juga ditetapkannya Ketetapan MPR  RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang menugaskan kepada lembaga lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai  HAM kepada seluruh masyarakat. Juga menugaskan kepada Presieden RI dan DPR RI untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, dan diudangkannya Undang Undang RI No 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Undang Undang RI No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang juga memperkuat posisi Komnas HAM yang dibentuk sebelumnya berdasarkan Keppres. No 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, serta diundangkannya Undang Undang RI No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Sungguhpun instrumen instrumen penegakan HAM di Indonesia sudah cukup memadai, tapi dalam prakteknya penegakan HAM masih dihadapkan kepada berbagai problem yang perlu diidentifikasi dan dicarikan solusi, sehingga Indonesia sebagai negara hukum yang diantara ciri-cirinya menegakkan HAM tidak hanya sebuah lip service atau retorika belaka, tapi benar benar menjadi sebuah jati diri negara Indonesia yang sesungguhnya.

B. Kajian Teoritis

1. Hak Asasi Manusia
Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia merumuskan pengertian HAM sebagai perangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa HAM itu adalah hak yang tidak terpisahkan dari esensi dan eksistensi manusia dan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati dan dilindungi oleh siapapun juga. Mengabaikannya berarti mengingkari anugerah Tuhan Yang Maha Esa sekaligus berarti pula mengingkari eksistensiNya sebagai al-Khaliq. Manusia merupakan makhluk  yang paling mulia dalam pandangan Tuhan . Ia diberiNya akal budi yang menjadi sebuah potensi baginya untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Karenanya martabat manusia yang mulia tersebut harus dihormati dan dijunjung tinggi termasuk hak hak yang melekat padanya. Hak hak itu meliputi :
  • 1. Hak untuk hidup
  • 2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
  • 3. Hak mengembangkan diri
  • 4. Hak memperoleh keadilan
  • 5. Hak atas kebebasan pribadi
  • 6. Hak atas rasa aman
  • 7. Hak atas kesejahteraan
  • 8. Hak turut serta dalam pemerintahan
  • 9. Hak wanita
  • 10. Hak anak[3]

Rincian di atas apabila disimpulkan lebih lanjut dapat dipahami bahwa pada hakikatnya HAM itu terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Kedua hak dasar ini saling mempengaruhi dan sekaligus akan menjamin terpenuhinya pula hak asasi yang lain. Sebagai contoh, tidak mungkin kehidupan demokrasi dapat diwujudkan kalau rakyat tidak dijamin hak persamaan dan hak kebebasannya untuk memilih wakil wakilnya di parlemen [4] Penerapan HAM sebagaimana yang diatur dalam UU. No. 39 Tahun 1999 hanya dapat dibatasi berdasarkan Undang Undang. Pembatasan itu hanya dapat dilakukan demi ketertiban umum dan kepentingan bangsa bukan kepentingan penguasa. Untuk itu tidak ada satu ketentuanpun dalam Undang Undang tentang HAM di atas boleh diinterpretasikan bahwa pemerintah atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak atau menghapuskan HAM. Oleh karenanya siapapun tidak dibenarkan mengambil keuntungan sepihak dan/atau mendatangkan kerugian bagi pihak lain dalam menginterpretasikan ketentuan dalam Undang Undang Tentang HAM sehingga mengakibatkan berkurang dan terhapusnya HAM yang dijamin oleh Undang Undang tersebut.[5]

2. Kewajiban Dasar Manusia
Sangat tidak proporsional apabila membahas HAM tanpa membahas pula Kewajiban Dasar Manusia, sebab diantara keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hak itu timbul dari pelaksanaan kewajiban. Dalam Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia PBB tidak dicantumkan Kewajiban Dasar Manusia. Kewajiaban Dasar ini lahir dari UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia  BAB IV pasal 67-70.
Yang dimaksud dengan Kewajiban Dasar Manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya HAM. Kewajiban Dasar itu meliputi :
  • 1.Wajib patuh pada peraturan perundang-undangan. Kewajiban ini berlaku bagi setiap orang yang berada dalam wilayah Republik Indonesia baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang berada di Indonesia.
  • 2.Ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
  • 3.Menghormati HAM. Setiap orang wajib menghormati HAM, moral, etika dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Moral dan etika adalah suatu konsepsi tentang baik dan buruknya tingkah laku manusia didalam masyarakat. Sedangkan tertib kehidupan bermasyarakat diatur oleh hukum, moral/etika, adat, dan agama/kepercayaan.
  • 4.Menghormati hak asasi orang lain. Setiap hak asasi seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik. Untuk itu tugas pemerintah dalam hal ini adalah menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukannya.
  • 5.Tunduk pada pembatasan yang ditetapkan Undang Undang. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang Undang. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

3. Instrumen Penegakan HAM di Indonesia
Pemikiran  HAM sejak awal pergerakan kemerdekaan hingga saat ini mendapat pengakuan dalam bentuk hukum tertulis yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berpuncak pada konstitusi sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Sekalipun UUD 45 memuat ketentuan ketentuan tentang HAM yang mencakup bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya tetapi pengaturan itu dianggap belum detail sehingga timbul permasalahan dalam bentuk hukum apakah rincian HAM itu harus ditetapkan.
Ismail Suny berpendapat bahwa terdapat tiga kemungkinan bentuk hukum yang dapat menampung rincian HAM itu:
  • 1. Menjadikannya sebagai bagian integral dari UUD 45 yaitu dengan melakukan amandemen UUD 45.
  • 2. Menetapkan rincian HAM dalam Ketetapan MPR. Keberatannya adalah bahwa suatu Ketetapan MPR pada umumnya tidak mengatur ancaman hukuman bagi pelanggarnya.
  • 3. Mengundangkannya dalam suatu Undang Undang yang mengatur tentang sanksi hukum terhadap pelanggarnya.
Dari tiga kemungkinan bentuk hukum di atas dalam realitasnya  secara keseluruhan  telah dipraktekkan oleh pemerintah  Indonesia dalam menguraikan rincian HAM.[6]                
Berikut ini akan dijelaskan secara lebih detail bentuk bentuk hukum di atas sebagai instrumen penegakan HAM di Indonesia:
  • a. Amandemen UUD 45.
Wacana tentang perlunya HAM dimasukkan dalam UUD 45 berkembang ketika kesadaran akan pentingnya jaminan perlindungan HAM semakin meningkat menyusul jatuhnya rezim Orde Baru yang represif dan otoriter. Telah diakui bahwa UUD 45 tidak secara eksplisit mengatur tentang HAM, bahkan beberapa pakar secara tegas menyatakan bahwa konstitusi negara kita tidak mengenal HAM karena dirumuskan sebelum adanya Deklarasi Universal HAM. Atas dasar itu amandemen UUD 45 untuk memasukkan HAM didalamnya merupakan tuntutan reformasi yang tidak bisa dielakkan. Dan usaha ini diharapkan akan semakin memperkuat komitmen negara Indonesia untuk menegakkan dan melindungi HAM di Indonesia, karena dengan menjadi bagian integral UUD 45 HAM itu akan menjadi hak yang dilindungi secara konstitusional (constitutional right) . Pemikiran ini kemudian direalisasikan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 melalui amandemen  II UUD 45.
  • b. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia.
Ketetapan ini disahkan oleh Rapat Paripurna Sidang Istimewa MPR pada tanggal 13 Nopember 1998. Pada masa awal reformasi tuntutan mengenai perlunya suatu aturan yang memuat ketentuan tentang HAM yang lebih rinci mengemuka dengan kuat dan menjadi isu sentral yang cukup luas. Untuk mengakomodasi tuntutan tersebut bentuk hukum yang dipilih untuk mengatur tentang HAM adalah Ketetapan MPR, karena pada saat itu masih terjadi tarik menarik antara kelompok yang menghendaki amandemen UUD 45 dan kelompok yang menolaknya. Maka untuk menjembatani dua kolompok yang saling berseberangan ini dicarilah suatu pola yang secara relatif lebih dapat diterima oleh mereka yaitu dengan membuat Ketetapan MPR yang mengatur tentang HAM, di samping secara prosedural pola ini lebih mudah dilakukan dibanding dengan amandemen UUD 45.   
  • c. Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang Undang ini dipandang sebagai Undang Undang pelaksana dari Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia di atas, karena salah satu dasar hukumnya adalah Ketetapan MPR tersebut. Ketika Undang Undang ini didiskusikan terdapat dua pendapat yang kontradiktif tentang perlunya Undang Undang tentang HAM. Pendapat pertama menyatakan bahwa pada dasarnya ketentuan mengenai  HAM tersebar dalam berbagai Undang Undang . Oleh karenanya tidak perlu dibuat Undang Undang khusus tentang HAM. Pendapat lain menyatakan bahwa Undang Undang tentang HAM diperlukan mengingat Tap MPR tentang HAM yang sudah ada tidak berlaku oprasional dan Undang Undang yang sudah ada tidak seluruhnya menampung materi HAM. Selain itu, Undang Undang tentang HAM akan berfungsi sebagai Undang Undang payung bagi peraturan perundang-undangan mengenai HAM yang sudah ada selama ini.[7]  
Undang Undang No.39 Tahun 1999 selain memuat ketentuan ketentuan tentang HAM  juga mengatur tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang fungsi pokoknya adalah melakukan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang HAM.
  • d. Undang Undang No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Undang Undang ini dapat dianggap sebagai tonggak hukum kedua dalam penegakan HAM dalam level Undang Undang setelah UU. No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang Undang ini merupakan pengganti dari Peraturan Pmerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) No 1 Tahun 1999 yang mengatur hal yang sama yang telah ditolak oleh DPR sebelumnya[8]
  • e. Undang Undang No. 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
Pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum melalui Undang Undang ini bertujuan:
  • 1. Mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila dan UUD 45.
  • 2. Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat.
  • 3. Mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi.
  • 4. Menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.

4. Problem Penegakan HAM Di Indonesia
Otoritarianisme rezim Orde Baru antara lain ditandai dengan banyaknya kasus kasus pelanggaran HAM baik yang terselubung maupun yang terbuka. Memang pada masa itu instrumen instrumen penegakan HAM telah ada sekalipun tidak selengkap di era reformasi misalnya ketentuan ketentuan tentang HAM yang tersebar dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada, Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia yang telah disetujui dan diumumkan oleh Resolusi Majlis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasarkan Keppres No 50 Tahun 1993 dan lain lain. Instrumen instrumen di atas ternyata tidak dapat berfungsi bagi penegakan HAM karena hukum secara umum pada masa Orde Baru hanya diajdikan alat untuk mempertahankan kekuasaan, bukan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, atau dengan kata lain hukum pada masa itu tidak untuk ditegakkan. Padahal seorang filosof hukum aliran realisme bernama Wilhelm Lundsted mengatakan bahwa hukum itu bukan apa-apa (law is nothing). Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa hukum baru memiliki makna setelah ditegakkan. Tanpa penegakan hukum bukan apa apa [9]      
Sungguhpun rezim Orde Baru telah tumbang dan berganti dengan Orde Reformasi, tetapi pengaruh dari sistem dan paradigma lama (status quo) masih sangat kuat, sebab pengertian reformasi yang terjadi di Indonesia bukan mengganti orang orang lama (kelompok status quo) secara total tetapi memunculkan orang-orang baru (kelompok reformis) dan bergabung dengan orang orang lama dalam menjalankan pemerintahan. Maka yang terjadi adalah pertarungan dan pergumulan antara dua kelompok itu. Dan ternyata, setelah era reformasi bergulir kurang lebih lima tahun, nampak bahwa kekuatan kelompok status quo masih mendominasi sistem yang sedang berjalan termasuk dalam penegakan hukum. Keterpurukan hukum di Indonesia sejak masa Orde Baru hingga sekarang meliputi tiga unsur sistem hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedmann, yaitu struktur (structure), substansi (substance), kultur hukum (legal culture).[10]
  • 1. Struktur, yang dimaksud dengan struktur dalam sistem hukum Indonesia adalah institusi institusi penegakan hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, serta hirarki peradilan dari yang terendah (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan lain-lain) hingga yang tertinggi (Mahkamah Agung), begitu juga aparat penegak hukum yang bekerja pada institusi institusi penegakan hukum tersebut. Problem yang terjadi berkenaan dengan struktur ini adalah belum adanya kemandirian yudisial yang menjamin resistensi institusi institusi penegakan hukum terhadap intervensi pihak lain serta rendahnya kualitas moralitas dan integritas personal aparat penegak hukum sehingga hukum tidak dapat bekerja secara sistemik dan proporsional, termasuk dalam penegakan HAM.
  • 2. Substansi, yaitu aturan, norma dan pola prilaku nyata manusia yang ada dalam sistem itu atau produk produk yang dihasilkannya berupa keputusan keputusan yang mereka keluarkan dan mencakup pula hukum yang hidup (living law) dan bukan hanya aturan aturan yang ada dalam kitab undang undang (law books). Yang menjadi problem dari substansi ini adalah kuatnya pengaruh positivisme dalam tatanan hukum di Indonesia yang memandang hukum sebagai sesuatu yang muncul dari otoritas yang berdaulat dalam bentuk undang undang dan mengabaikan sama sekali hukum diluar yang tersebut serta memandang prosedur hukum sebagai segala-galanya dalam penegakan hukum tanpa melihat apakah hal tersebut dapat mewujudkan keadilan dan kebenaran.
  • 3. Kultur hukum, yaitu suasana pikiran dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari, dan disalahgunakan. Kultur hukum yang merupakan ekspressi dari tingkat kesadaran hukum masyarakat belum kondusif bagi bekerjanya sistem hukum secara proporsional dan berkeadilan.
Keterpurukan hukum di Indonesia yang meliputi tiga unsur sistem hukum di atas sangat menghambat penegakan HAM di negara kita sehingga wajar apabila kasus kasus pelanggaran HAM yang tergolong berat hingga sekarang tidak ada yang berhasil diusut secara tuntas dan profesional dan sudah tentu hal ini sangat mengusik rasa keadilan masyarakat secara umum.
Selain itu secara struktural, kemandirian institusi institusi penegakan hukum di Indonesia masih juga menjadi problem yang cukup serius. Institusi institusi penegakan hukum tersebut belum cukup resisten terhadap intervensi pihak lain terutama eksekutif, padahal penegakan HAM memerlukan kemandirian yudisial dan pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law).
Problem penegakan HAM di Indonesia tidak hanya menyangkut sistem hukum yang mengalami degradasi sebagaimana telah dijelaskan di atas, tapi juga melibatkan  sistem sistem lain yang turut  berpengaruh secara signifikan misalnya sistem politik, ekonomi dan sosial.
Sistem politik transisional dari sistem politik otoriter ke demokratis ternyata tidak bisa berjalan mulus. Pergantian rezim dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah banyak menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM. Begitu juga ketika Orde Reformasi berkuasa timbul gejolak dan pergumulan di antara kekuatan reformasi sendiri, tanpa menafikan pengaruh dan peran kuat orang-orang yang pro-status quo untuk saling berebut kekuasaan, yang hal ini juga banyak menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM, terutama ketika militer diposisikan sebagai alat dan pendukung  kekuasaan  yang sedang berlangsung.   
Sistem ekonomi yang dibangun selama masa Orde Baru terbukti belum mampu menyejahterakan dan mengangkat martabat kehidupan bangsa Indonesia terutama rakyat kecil yang secara kuantitatif paling banyak jumlahnya. Bahkan sejak terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan jatuhnya rezim Orde Baru, kondisi bangsa Indonesia semakin terpuruk den krisis itu semakin melebar dan meluas hingga bersifat multidimensional. Keterpurukan ekonomi ini juga menjadi problem penegakan HAM di negara kita, sebab bagaimana seorang akan dapat menghormati dan menghargai serta menghayati HAM kalau ia belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya yang minimum sekalipun?
Dalam psikologi dikenal teori Abraham Maslow tentang The Basic Need Hierarchy Theory yang mengatakan bahwa ada lima tingkatan kebutuhan dasar manusia yaitu :
  • a. Kebutuhan pokok fisiologis
  • b. Kebutuhan akan keselamatan dan keamanan dari bahaya luar
  • c. Kebutuhan akan cinta, kemisraan dan kebutuhan seksual
  • d. Kebutuhan akan martabat, penghargaan sosial dan harga diri serta kebutuhan diperlakukan secara adil
  • e. Kebutuhan untuk aktualisasi diri dan mempunyai sesuatu (obsesi).
Dalam konteks ini, Tjuk Wirawan berasumsi bahwa apabila sebagian besar rakyat Indonesia sudah mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sampai dengan hirarki keempat yang berarti sebagian besar rakyat sudah menginginkan pengakuan martabat dan harga dirinya serta membutuhkan penghargaan sosial dan ingin diperlakukan secara adil, maka pada taraf inilah penghormatan HAM dan penegakan serta penghayatannya  yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia akan dapat dicapai.[11]  
Sistem sosial masyarakat Indonesia pada dasarnya bersumber dari nilai-nilai agama dan budaya yang menghargai dan menghormati kedudukan manusia sebagai makhluk Allah SWT yang termulia di bumi ini. Nilai-nilai agama dan budaya tersebut kemudian membentuk etika sosial yang menjadi acuan bagi masyarakat dalam berprilaku dan berinteraksi antara yang satu dengan yang lain dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Masyarakat Indonesia terkenal dengan sifat sopan santunnya, sikap hormatnya kepada orang lain serta rasa kekeluargaannya yang sangat tinggi. Tapi yang menjadi permasalahan adalah mengapa ketika terjadi krisis multidimensional karakter sosial yang positif tersebut menjadi berbalik seratus delapan puluh derajat, sehingga yang terjadi adalah kebiadaban, keangkuhan dan kekerasan yang kemudian menimbulkan   ketidak-tertiban dan ketidak-harmonisan sosial (social disorder and disharmony).[12] Dan kondisi sosial semacam ini tentu sangat tidak kondusif bagi usaha usaha penegakan HAM di Indonesia. Frans Magnis Suseno mencoba memberi jawaban dari permasalahan di atas. Menurutnya sistem sosial masyarakat Indonesia rusak karena sistem sistem yang lain tidak bekerja dengan baik, misalnya sistem hukum, sistem politik dan sistem ekonomi. Seandainya sistem sistem ini bekerja dengan baik maka sistem sosial itu akan menjadi baik pula, karena sistem sistem tersebut antara satu sama lain saling mempengaruhi.[13]      

C. Analisis
Penegakan HAM secara umum membutuhkan penciptaan sebuah kondisi yang kondusif melalui penguatan sistem. Di Indonesia selama masa Orde Baru dan masa transisi dari corak pemerintahan otoriter ke demokratis, sistem itu tidak berjalan secara proporsional. Sebagai konsekuensinya, maka banyak unsur unsur yang  berjalan diluar sistem; dan hal ini berarti sebuah penyimpangan dari koridor sistem itu. Sebagai contoh terjadinya bentuk bentuk kekerasan dan tindakan main hakim sendiri serta kerusuhan massal yang sangat destruktif dan lain lain merupakan bentuk distorsi sistem yang lebih disebabkan oleh ketidak-percayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang ada. Apa yang dikatakan oleh Frans Magnis Suseno di atas memanglah benar. Bahkan berkenaan dengan lemahnya sistem hukum di Indonesia, David Black pada tahun 1970-an sudah mempertanyakan tentang kondisi hukum di negara kita Is law there? (adakah hukum?).[14] Begitu terpuruknya kondisi hukum di Indonesia sehingga mengakibatkan terjadinya krisis berskala luas dan bersifat multidimensional.
Memang benar terpuruknya hukum itu dapat juga dipengaruhi oleh sistem lain seperti sistem politik, sistem ekonomi dan sistem sosial tapi pengaruh lemahnya sistem hukum terhadap rusaknya sistem sistem  tersebut paling  signifikan sebab   hukum dilihat dari segi tujuannya merupakan yang paling bertanggung jawab atas hal tersebut di atas. Tujuan hukum itu antara lain  untuk memberikan pengayoman kepada anggota masyarakat yang dilakukan dengan usaha mewujudkan
  • 1. Ketertiban dan keteraturan yang memunculkan prediktabilitas.
  • 2. Kedamaian yang berketenteraman.
  • 3. Keadilan (distributif, komulatif, vindikatif, protektif).
  • 4. Kesejahteraan dan keadilan sosial.
  • 5. Pembinaan akhlak luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[15]
Dari sini  dapat ditarik suatu asumsi bahwa seandainya sistem hukum itu bekerja dengan baik untuk mencapai tujuannya di atas, maka krisis yang bersifat multidimensional itu akan dapat teratasi dan penegakan HAM akan berjalan dengan baik. Dengan demikian rekonstruksi sistem hukum harus menjadi sebuah perioritas. Rekonstruksi sistem hukum tersebut meliputi tiga unsur pokok, yaitu struktur, substansi. dan kultur.
Struktur mencakup institusi-institusi penegakan hukum, yang dalam prakteknya belum sepenuhnya independen, atau dengan kata lain masih sering diintervensi oleh pihak lain dalam mengambil keputusan hukum. Keberadaan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai institusi penegakan hukum yang merupakan bagian dari eksekutif adalah sebuah problem tersendiri bagi kemandirian yudisial di negara kita.
Selain institusi, struktur sistem hukum juga meliputi aparat penegak hukum. Problem krusial yang ada pada jajaran aparat penegak hukum secara umum adalah tingkat moralitas dan integritas personalnya yang sangat rendah sehingga hukum tidak dapat diimplementasikan sesuai ketentuan yang berlaku. Hukum tidak lebih sebagai sebuah komoditas yang bisa diperjualbelikan atau dinegosiasikan berdasarkan kepentingan yang melatarinya. Dua permasalahan di atas menuntut upaya restrukturisasi institusi-institusi penegakan hukum, sehingga kemandirian yudisial dapat dicapai. Demikian juga reformasi sistem pendidikan calon aparat penegak hukum agar dihasilkan out-put yang profesional dan memiliki tingkat moralitas dan integritas personal yang tinggi. Faktor ini sangatlah penting dan menentukan sebab bagaimanapun baiknya sebuah sistem hukum itu dibangun tentu tidak akan berarti apa apa kalau kualitas aparatnya rendah secara profesional maupun moral dan personal. Secara ekstrim keterpurukan hukum di Indonesia penyebab utamanya adalah banyaknya aparat penegak hukum yang tidak memenuhi kualifikasi di atas.          
Substansi, yang menjadi permasalahan berkenaan dengan substansi adalah kuatnya pengaruh legal positivism dalam sistem hukum di negara kita. Pemikiran positivisme hukum lahir bersama dengan kelahiran negara modern pada akhir abad 18. Sebelum itu masyarakat masih menggunakan hukum yang dinamakan interactional law atau customary law.  Positivisme kental dengan dokumentasi dan formalisasi hukum dalam wujudnya sebagai bureaucratic law. Dalam ilmu hukum yang legalistik-positivistik hukum dipandang sebagai pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik. Dengan kata lain positivisme telah melakukan penyederhanaan penyederhanaan yang berlebihan dan hukum dipahami sebagai suatu keteraturan. Bagi kaum positivis, hukum tidak lain dari perintah yang bersumber dari otoritas yang berdaulat dalam masyarakat yang mengharuskan orang  atau orang orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perintah itu disandarkan kepada ancaman keburukan berupa sanksi yang dipaksakan berlakunya bagi orang yang tidak taat. Perintah, kewajiban untuk mentaati dan sanksi merupakan tiga unsur essensial hukum dalam pandangan positivisme. Bagi faham ini hukum positif berbeda jika dibandingkan dengan asas asas lain misalnya asas asas yang didasarkan pada moralitas, religi, kebiasaan, konvensi ataupun kesadaran masyarakat.Bahkan lebih ekstrim lagi, hukum harus melarang setiap aturan yang mirip hukum tetapi tidak bersifat perintah dari otoritas yang berdaulat.[16]     
Dilihat dari latarbelakang munculnya, posistivisme ini dilatari oleh politik liberalisme yang memperjuangkan kemerdekaan individu sehingga wajar apabila faham ini tidak memberikan concern terhadap keadilan yang luas bagi masyarakat. Dan baginya untuk mewujudkan kemerdekaan individu diperlukan kepastian hukum dalam bentuk undang undang dan prosedur hukum yang jelas. Bahkan demi kepastian hukum prinsip keadilan dan kemanfaatan bisa dikorbankan. [17]
Dengan memahami karakter posistivisme di atas, maka apabila faham ini terus mendominasi sistem hukum negara kita tentu akan menghambat penegakan hukum yang berkeadilan dan  menimbulkan keterpurukan hukum yang krusial  terus menerus. Maka untuk bisa keluar dari problem ini bangsa Indonesia harus dapat melepaskan diri dari belenggu positivisme karena dengan hanya mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistik-positivistik yang berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) dan prosedur hukum semata sistem hukum Indonesia  tidak akan pernah mampu menangkap hakikat kebenaran dan keadilan. Dan lebih ironis lagi penegakan hukum hanya diimplementasikan dalam format peradilan formal (formal justice) semata yang tidak akan mampu menangkap substansinya. Hukum hanya berurusan dengan hal hal yang bersifat teknis dan teknologis. Sentuhan kemanusiaan hukum menjadi hilang. Hukum direduksi menjadi dua hal yang berhadapan secara berlawanan yaitu benar-salah, menang-kalah dan lain sebagainya. Langkah strategis yang sangat mendesak untuk dilakukan  untuk dapat keluar dari perangkap positivisme yang sangat merugikan tatanan hukum kita adalah melakukan reformasi hukum menuju Sistem Hukum Progresif. Untuk sampai kepada sistem hukum progresif ini semua konsep perlu dikaji ulang dan digugat, baik konsep negara hukum, konsep penegakan hukum, konsep peradilan bahkan konsep keadilan itu sendiri. Karena fokusnya menuju hukum progresif maka kemudian yang dihasilkan nanti adalah negara hukum progresif, konsep penegakan hukum progresif, konsep keadilan progresif dan konsep konsep hukum lain yang progresif. Untuk memulai reformasi hukum bisa dilakukan dari posisi saat ini, dari tradisi dan praktek bernegara hukum dan penegakan hukum yang diterapkan selama ini. Semua ini dijadikan obyek gugatan, atau dengan kata lain keterpurukan hukum yang terjadi selama ini menjadi entry point  gugatan untuk menemukan format baru yang progresif.
Kultur hukum (legal culture). Yang menjadi problem dari kultur hukum adalah belum kondusifnya praktek budaya penegakan hukum bagi bekerjanya sistem hukum secara sistemik dan berkeadilan. Kentalnya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di Indonesia yang hingga kini menjadi permasalahan bangsa yang krusial sangat menghambat penegakan hukum secara umum termasuk penegakan HAM. Untuk membangun kultur hukum yang kondusif diperlukan keteladanan yang baik dari kalangan aparat penegak hukum dan para elite kekuasaan untuk menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap Indonesia  sebagai negara hukum sebagaimana telah ditegaskan dalam UUD 45. Hal ini dapat terwujud apabila mereka memiliki moralitas dan integritas personal  yang tinggi dalam menjalankan tugas masing-masing.          

D. Kesimpulan

Dari keseluruhan pembahasan makalah ini selanjutnya dapat ditarik beberapa poin kesimpulan sebagai berikut:
  • 1. HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan anugerahNya yang wajib dihormati dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Penegakan HAM harus diimbangi dengan pelaksanaan Kewajiban Dasar Manusia karena diantara keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Penegakan HAM hanya dapat dibatasi oleh Undang Undang untuk menjaga ketertiban umum dan hak-hak asasi orang lain.
  • 2. Instrumen penegakan HAM di Indonesia secara konstitusional dan yuridis cukup kuat dan memadai.
  • 3. Penegakan HAM di Indonesia dihadapkan kepada problem problem. Diantaranya terpuruknya sistem hukum negara Indonesia yang unsur unsurnya terdiri dari struktur, substansi dan kultur hukum, di samping terpuruknya sistem sistem lain yang juga berpengaruh seperti sistem ekonomi, politik dan sosial.
  • 4. Solusi problem penegakan HAM diupayakan melalui rekonstruksi sistem hukum nasional dengan melakukan restrukturisasi institusi-institusi penegakan hukum untuk menjamin kemandirian yudisialnya serta mereformasi sistem pendidikan aparat penegak hukum agar bermoral dan profesional. Di samping itu dipandang perlu meninjau ulang ideologi positivisme yang bercorak formalistik dan prosedural yang sangat berpengaruh terhadap sistem hukum nasional untuk dapat merumuskan sistem hukum yang progresif yang mampu menangkap substansi keadilan dan kebenaran sebagai essensi penegakan hukum secara umum. Lebih dari itu, untuk membangun kultur hukum yang kondusif diperlukan keteladanan dari jajaran aparat penegak hukum dan para elite penguasa serta seluruh warga negara untuk menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap Indonesia sebagai negara hukum. Dari semua usaha di atas, diharapkan sistem hukum nasional akan dapat ditata kembali dan akan berpengaruh secara signifikan terhadap perbaikan sistem yang lain termasuk penegakan HAM.


DAFTAR PUSTAKA
Ali, Ahmad. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Arief Sidharta, Bernard. 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung: CV.Mandar Maju.
Kleden, Ignas. 2001. Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Jakarta: Kompas.
Lopa, Baharuddin. 2001. Masalah Masalah Politik, Hukum Sosial Budaya, Agama: Sebuah Pemikiran. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Manan, Bagir. 2001. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Bandung: PT. Alumni.
Neil J., Kritz (ed.). 1995. Transitional Justice How Emerging Democracies Reckon With Former Regims. vol I. Washington: United States Institute of Peace Press.
Prinst, Darwan. 2001. Sosialisasi, Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Purbopranoto. Kuntjoro. 1979. Hak Hak Asasi Manusia Dan Pancasila, Jakarta: Pradnya Paramita.
Rahardjo, Satjipto. “Hukum Progresif”. Jentera. Edisi 2-2003: hlm. 62.
Sujata, Antonius. 2000. Reformasi Dalam Penegakan Hukum. Jakarta: Djambatan.
Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Wirawan, Tjuk. 1995. Penghayatan Bangsa Indonesia Terhadap Hak Hak Asasi Manusia. (Makalah) UNEJ.

Translate